Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini
telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak
ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Biasa juga disebut sebagai
perjanjian baku. Menurut Hondius, inti dari perjanjian baku adalah isi
dari perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan
pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isi perjanjian
tersebut.
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang berposisi (ekonomi) kuat.
b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menetukan isi perjanjian.c. Terbentur oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
d. Bentuk tertentu (tertulis).
e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat sangat banyak yang disertai dengan standar baku dalam
pengelolaannya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat lalu
lintas hukum. Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini banyak perjanjian
dibuat atas dasar syarat-syarat baku, seperti perjanjian kerja,
perbankan, sektor pemberian jasa, sewa upah, perniagaan, sewa menyewa,
dan lain-lain.
Hondius tidak mengklasifikasikan jenis-jenis standar kontrak
tersebut. Namun Marium Darus membagi jenis perjanjian baku menjadi
empat jenis, yaitu :
a. Perjanjian Baku Sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu.
b. Perjanjian Baku Timbal Balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak.
c. Perjanjian Baku yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu perjanjian
baku yang isinya dtentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu.
d. Perjanjian Baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat, yaitu perjanjian yang konsepnya sejak semula sudag dipersiapkan untuk memenuhi permintaan dari klien.
B. Macam-macam Perjanjian
Ditinjau dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
Secara garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional dibagi lagi ke dalam:
a. Perjanjian Internasional Bilateral,
yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak
yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional
saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb).
b. Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian
Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam
perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional..
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya
Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
- Treaty Contract. Sebagai
perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang
hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini
bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral.
- Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian
terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau
kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum
internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan
perjanjian tersebut.
Law making treaty ini dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
a. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah
yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara
saja.
b. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah
yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau
seluruh negara di dunia.
c. Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup
masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu
kawasan tertentu saja.
3. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation)
dan tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan
wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara
khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan
itu. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka
perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua
tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap
naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian
Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian
Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses
pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu
bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian,
melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan
telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam
perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian. Agar
perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut
mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan
kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau
diratifikasi.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya
Pembedaan atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu
berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu
sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional hal ini
ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian
Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas
waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud
dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan
untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya
bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau
setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya
paksaan, kekhilafan dan penipuan.
2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap
orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
- Orang yang belum dewasa.Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila
para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang
dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
- Mereka yang berada di bawah pengampuan.
- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini
sudah tidak berlaku lagi).
- Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
4. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu
perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak
yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
D. Saat Lahirnya Perjanjian
Untuk menentukan saat lahirnya kontrak dalam hal yang demikian ada beberapa teori :
a. Teori Pengiriman (Verzend Theori);Menurut teori
ini, suatu kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan
tersebut dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
b. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie);Menurut
teori ini saat lahirnya kontrak adalah saat suatu kata sepakat telah
terbentuk pada saat orang yang menawarkan tersebut mengetahui bahwa
penawarannya itu telah disetujui oleh pihak lainnya.
c. Teori Kepercayaan (vertrouwens theorie); mengajarkan
bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap
layak (secara objektif) diterima oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori Ucapan (Uiting Theorie); Menurut teori ini,
bahwa suatu kesepakatan kehendak terjadi manakala pihak yang menerima
penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa dia telah
menerima tawaran tersebut.
E. Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian
yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian,
dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang
melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
(i) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii) Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat
di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan
dari perjanjian itu.
Sumber :
- http://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/
- Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa